lembarLAWAS

Newsletter Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma

Kepahlawanan: Antara Romantisme dan Heroisme

Oleh: D. Bondan Pamungkas

bondanBerbicara tentang kepahlawanan pada akhir-akhir ini cenderung yang berada dalam ingatan kita adalah ingatan heroisme belaka. Ketika bercerita mengenai pahlawan, selalu terbayang tentang peperangan di mana mereka yang telah gugur karena membela bangsa menjadi dikenal sebagai pahlawan.

Sesungguhnya ingatan kita saat ini sedang terkonstuksi dalam kesederhanaan akan pemaknaan nilai kepahlawanan yang herois- militeristik. Kita jarang melihat pemaknaan lain dari pahlawan diluar keheroismeannya dalam pertempuran. Banyak pahlawan sesungguhnya berjuang tidak hanya dengan senjata saja, diantara mereka juga banyak berjuang dengan gagasan dan perjuangan untuk membangun kesadaran berbangsa merdeka.

Kiranya pemaknaan kepahlawanan harus dilihat dari berbagai segi, mengingat, pahlawan secara etimologi bermakna seseorang yang berbuat baik, menyebarkannya, sehingga kebaikan itu dapat mempengaruhi masyarakat, berikut tumbuhkembangnya menuju ke arah yang lebih baik. Jadi, banyak pahlawan yang kebetulan tidak mengangkat senjata. Senyatanya, ini adalah persoalan pilihan cara. Banyak tokoh-tokoh bangsa ini yang memakai caranya masing-masing dalam melakukan perjuangan demi kemerdekaan dan bangsa.

Yang menjadi kekhawatiran adalah adanya keseregaman pemaknaan atas konteks kepahlawanan. Menjadi seragam, sempit, dan berpeluang menguntungkan satu pihak sekaligus menegasikan pihak lain serta peran-perannya dalam perjuangan bangsa.

Mempelajari sejarah dalam keseluruhan dimensi kiranya sedikit banyak dapat meminimalisir penyempitan pemaknaan tersebut. Sehingga kajian sejarah hendaknya terus dan terus dilakukan untuk bukan hanya menemukan sesosok pahlawan, namun lebih dari itu, menemukan nilai-nilai yang menggerakkan sesosok pahlawan dalam perjuangannya.

Berbicara mengenai pahlawan sudah semestinya kita juga memahami akan situasi sosial di-mana mereka berasal. Bagaimana keadaan sosial dan apa yang menyebabkan mereka menjadi orang patut di kenang, di hormati serta di teladani. Kajian mengenai hal ini cenderung luput dari ingatan kita.

Kepahlawanan bukan menjadi dominasi kaum militer saja. Setiap orang yang berupaya membangun perjuangan atas realitas sosialnya dan pengakuan terjadi oleh masyarakat setempat, maka mereka sesungguhnya sudah cukup menjadi pahlawan. Jasa dari perjuangan setiap orang yang menggagas sebuah perubahan demi terwujudnya sebuah situasi yang lebih baik bagi masyarakatnya sudah dapat disebut pahlawan.

Sudah menjadi hal biasa ketika berjumpa dengan para veteran yang turut berjuang secara militer pada era perjuangan awal negeri ini, mereka selalu menceritakan sebuah romantisme dan kejayaan akan kehebatan sebuah pertemupuran. Hal ini mereka alami dan benar karena dipandang dari perspektif militeristik. Namun hal ini menjadi berbeda ketika masyarakat awam melihatnya.

Sebuah ingatan akan kepahlawanan saya rasa bukan kemudian ia harus memproduksi ulang sebuah gagasan akan kejayaan dan ketangguhan mereka, namun melampaui itu, sebuah cita mengenai upaya menciptakan sebuah perubahan demi kebaikan masyarakatnya.

Terkadang kita tenggelam dengan arus romantisme dalam cerita sejarah kepahlawananan bangsa ini dan membuat kita menjadi terlupa dengan sekian realitas yang masih tertindas sekarang ini.

Sudah saatnya, ketika hari ini, kita berbincang soal kepahlawanan, ada baiknya bila kembali melihat gagasan mengenai upaya pensejahteraan masyarakat pada waktu tersebut. Dalam era kekinian, kiranya hal itulah yang patut untuk didesakkan, mengingat kesejahteraan yang berkeadilan masihlah jauh panggang dari api di negeri tercinta ini. Seandainya pemimpin negeri ini berhasil atau setidaknya berbuat nyata dalam usaha pencapaian kesejahteraan yang berkeadilan bagi rakyat indonesia, saya-lah barisan pertama yang akan mengatakan; “Pemimpin tersebut adalah pahlawan kita.”

Sebaiknya, kita semua mulai mengurangi kadar-kadar romantisme serta heroisme yang bersifat militeristik semata yang saat ini cenderung lebih di lihat daripada nilai yang terkadung dari perjuangan mereka.

Mereka tidak pernah berjuang bagi diri mereka sendiri saja, namun mereka berjuang bagi terciptanya kesejahteraan sosial pada zamannya. Dan itulah kiranya yang akan kita teruskan.

Penulis masih aktif sebagai mahasiswa Ilmu Sejarah USD

November 16, 2008 - Posted by | Edisi 3 / Nov 08 KEPAHLAWANAN |

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar